Perkembangan di bidang persenjataan di dunia telah
tumbuh semakin maju. Senjata yang dikembangkan oleh negara maju seperti
USA kini tidak mengutamakan pada senjata yang memiliki daya hancur yang
dahsyat tetapi telah bergeser pada senjata dengan daya hancur dan daya
lacak yang akurat (smart gun). Pengembangan senjata modem seperti itu
dihasilkan dari perpaduan dan penerapan berbagai Iptek yang terkait
seperti telekomunikasi, elektronika, kimia, balistik, metalurgi dan
komputer.
Penggunaan senjata smart gun (senjata pintar) ini
dimulai dari penentuan sasaran (deteksi dan identifikasi) dari jarak
jauh (remote sensing) menggunakan senjata Rudal (guided missile) yang
dikendalikan dari jarak jauh. Dengan menggunakan smart gun ini
diharapkan dampak korban penduduk sipil non combatant dapat dihindari
dan sebaliknya musuh yang bersembunyi ditengah-tengah pemukiman penduduk
dapat dihancurkan. Senjata dengan teknologi mutakhir itu telah
didemonstrasikan pada perang Irak. Bercermin dari perang Irak dan
kebijakan Amerika Serikat pasca serangan teroris tanggal 11 September
2001, USA telah mengubah kebijakan pertahanan dalam negerinya dengan
kebijakan pro emptive, yaitu menghancurkan musuh (para terorist) di
negaranya sebelum masuk dan menyerang wilayah USA. Fakta menunjukkan,
Indonesia berkali-kali diguncang oleh serangan terorist yang sasaran
utamanya adalah warga negara asing (USA, Australia). Oleh karena itu,
tidak ada jaminan bagi NKRI untuk bebas dari serangan musuh.
Pelanggaran wilayah kedaulatan NKRI oleh Negara
asing/tetangga, di darat, laut dan di udara semakin sering terjadi.
Pencurian kekayaan alam seperti illegal logging, illegal fishing dan
illegal mining semakin marak terjadi. Disadari bahwa peristiwa-peristiwa
tersebut diatas pada tahap awalnya merupakan test case terhadap
kemampuan pertahanan kita atau dapat diprediksikan bahwa kejadian
pelanggaran wilayah dan pencurian kekayaan negara itu, karena dimata
pihak asing NKRI tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai
untuk memberantas kejahatan trans national tersebut.
Doktrin TNI mengisyaratkan bahwa TNI hanya berperang
bilamana diserang oleh musuh yang mendeklarasikan perang dengan Negara
kita. Perang diwujudkan dalam operasi pertahanan dengan strategi
pertempuran/operasi hambat berlapis, dimulai dengan penembakan terhadap
gerak maju musuh sebelum memasuki wilayah NKRI di luar batas perairan
wilayah, di zona pesisir/ pantai hingga perang > gerilya dengan
melibatkan semua komponen bangsa bila-mana musuh berhasil menguasai
wilayah negara kita. Doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta
(Hankamrata), mensyaratkan jumlah personil (prajurit) TNI sebagai
kekuatan/ komponen utama pertahanan tidak dibangun dalam jumlah
besar-besaran, yang dikehendaki adalah profesional, efektif, efisien dan
modern. (PEEM) atau satuan-satuan yang kecil efektif, efisien (KEE).
Pada saat meng-hadapi kondisi darurat sipil dan atau darurat perang, TNI
akan dibantu oleh kekuatan rakyat melalui mobilisasi kekuatan/komponen
cadangan dan komponen pendukung yang sudah disiapkan. Namun pada
kenyataannya hingga saat ini pembangunan ketiga komponen pertahanan
tersebut belum dapat diselenggara-kan sebagaimana mestinya. Bahkan
pembangunan TNI sebagai komponen utama atau sebagai tulang punggung
pertahanan negara agak terbengkelai. Banyak satuan-satuan tempur di
TNI-AD yang tidak penuh/bulat (pengisian jumlah prajurit, senjata dan
perlengkapan perorangan/satuan jumlahnya kurang/dibawah ketentuan TOP
dan DSPP).
Kekuatan TNI-AL dan TNI-AU lebih memprihatinkan,
sebagai kekuatan dengan landasan doktrin : "Alutsista yang diawaki",
Alutsista yang dimiliki oleh kedua angkatan tersebut serba lemah, secara
kuantitas jumlahnya semakin susut dan secara kualitas semakin
ketinggalan /out of date.
Pembangunan Komponen Cadangan (Komcad) dan Komponen
Pendukung (Komkung) saat ini belum terbangun. Bahkan kebijakan
pemerintah dan peraturan perundang-undangan mengenai Komcad dan Komkung
belum ada (baru sampai tataran konsep/RUU). Adanya resistensi terhadap
RUU Komcad dari beberapa komponen masyarakat menyebabkan terhambatnya
upaya penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pertahanan
negara. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan kesadaran bela negara tidak
mengalami kemajuan.
Semua hal yang dipaparkan diatas telah menyadarkan
banyak kalangan masyarakat atas perlunya segera Indonesia untuk bangkit
meningkatkan upaya guna mewujudkan kekuatan dan kemampuan pertahanan.
Membangun kemandirian di bidang sarana pertahanan (Ranahan) dengan
mengerahkan dan mendayagunakan secara sinergi sumber daya nasional
berbasis Iptekhan dalam wahana perindustrian pertahanan (Indhan)
nasional merupakan langkah prioritas yang strategis.
PERAN INOVASI DALAM TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTAHANAN
Sesuai UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Litbang
dan Penerapan Iptek Inovasi artinya : "Kegiatan Litbang dan atau
perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan
konteks ilmu pengetahuan baru atau cara baru untuk menerapkan Iptek yang
telah ada kedalam produk atau proses produksi”. Salah satu prestasi
puncak dari inovasi adalah "Invensi", yaitu suatu ciptaan atau
perancangan baru yang belum ada sebefumnya yang memperkaya khazanah
serta dapat dipergunakan untuk menyem-purnakan atau memperbaharui Iptek
yang telah ada. Esensi dari inovasi adalah kreativitas atau upaya
kreatif yang terus menerus untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau
pembaharuan dari sesuatu yang sudah ada yang memiliki nilai guna dan
manfaat yang lebih besar atau lebih menguntungkan. Dalam hal upaya
mewujudkan kemandirian sarana pertahanan, maka tak diragukan lagi
inovasi berperan sangat penting. Dalam situasi kondisi kemampuan
ekonomi, industri dan Iptek pertahanan yang masih rendah, upaya inovatif
harus dijalankan secara bersama-sama terpadu dan sinergis oleh semua
pihak yang berkepentingan (stakeholder), beserta pihak lainnya yang
terkait.
Stakeholder dalam membangun kemandirian sarana
pertahanan dapat dikelompokkan atas : Kelompok Iptek, kelompok Industri
dan kelompok pendukung/ penyandang dana serta kelompok pengguna. Kedalam
kelompok Iptek terdiri dari lembaga Litbang pertahanan dan perguruan
tinggi termasuk institusi pemerintah, yaitu KRT, BPPT, LIPI dan Lapan.
Kelompok Industri, terdiri dari industri pertahanan dan industri
nasional yang memiliki kemampuan memproduksi komponen sarana pertahanan,
termasuk ke dalamnya adalah Departemen yang memiliki kewenangan membina
industri pertahanan (Dephan, dan Depperin). Kelompok pendukung dana
terdiri dari Depkeu, Bapenas dan Bank-bank swasta nasional serta
lembaga-lembaga keuangan lain yang memiliki komitmen pendanaan industri
militer/Ranahan. Kelompok pengguna adalah TNI dalam hal ini seluruh
satuan tempur/bantuan tempur di setiap Jajaran Angkatan.
Produk kerjasama dari setiap kelompok adalah kesiapan kelompok itu sendiri yang akan diintegrasikan dalam pembangunan suatu Ranahan/Alutsista misalnya : Kapal Korvet nasional, pesawat tempur atau kendaraan tempur (Ranpur) yang sesuai/tepat untuk kebutuhan pengguna/TNl.
ALIH TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MILITER 2
Alih teknologi, Alih teknologi (transfer of technology) adalah pengalihan kemampuan menguasai dan memanfaatkan Iptek antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari iuar negeri ke daiam negeri dan sebaliknya (UU No. 18/2002). Alih teknologi militer dapat ditempuh dalam 3 (tiga) cara, yaitu :
a. Mempelajari dari tempat dimana sarana pertahanan/Alutsista itu diproduksi di luar negeri.
b. Mendatangkan pakar dari Iuar negeri, yaitu dari suatu industri/lembaga yang bekerjasama dengan industri dalam negeri kita.
c. Melalui proses reverse engineering, yaitu mempelajari teknologi dari suatu Alut yang dibeli dari Iuar negeri atau dari suatu Alut produksi dalam negeri melalui kerjasama/lisensi secara seksama untuk memahami kinerja Alut tersebut.
Pengembangan Teknomil.
Secara garis besar teknologi militer (Teknomil) dapat dikelompok-kan atas 5 bidang, yaitu bidang miniaturisasi, optronik, propulsi, rancangan material baru dan nuklir & bioteknologi.
Ciri-ciri dari teknomil/ produk teknomii tergambarkan dari kebutuhan operasional militer itu sendiri yaitu ;
a. Memiliki kecepatan dan mobilitas tinggi.
b. Mengutamakan ketepatan/akurasi yang tinggi.
c. Daya hancur yang dahsyat.
d. Kemampuan jarak jangkau yang lebih jauh.
e. Pemeliharaan relatif mudah dan murah.
f. Tahan terhadap pengaruh segala cuaca.
g. Adanya jaminan keamanan (ketat dalam disiplin penggunaan).
h. Masa gunapakai (life time) lebih lama.
i. Ekonomis.
Kriteria tersebut (a-i) merupakan dasar atau pedoman pengembangan teknologi militer dalam pembuatan suatu Alutsista.
Arah Pengembangan Senjata dan Munisi
a. Senjata
1) Senjata ringan. Diarahkan pada pembuatan peluru tanpa kelongsong (pada senapan ringan) yang memungkinkan mekanisme tembakan (kamar, peluncur, penutup dan magasen) berada di bagian popor, sehingga senjata menjadi lebih pendek, ringan dan praktis.
2) Senjata Armed. Menggunakan proyektil dengan munisi yang dapat dikendalikan (guided munition) dengan menggunakan teknologi fuse electronic.
3) Senjata Arhanud
a) Diarahkan pada peningkatan kemampuan meriam kal. 25-40 mm dengan kecepatan tembak tinggi, daya tembak besar, perkenaan akurat, otomatis dan manual dilengkapi dengan AKT, radar, elektro dan laser secara kompak.
b) Diarahkan pada pengembangan rudal jarak pendek dan jarak sedang ( 6 km) dengan pengendalian aktif dan semi aktif (seperti : Rudal patriot, Hawk dan Grom)
4) Senjata Kavaleri. Penggunaan teknologi Laser Range Finder, alat bidik malam, stabilizer dan komputer untuk meningkatkan kemampuannya.
a. Munisi
1) Munisi Kaliber Kecil (MKK). Diarahkan pada pengembangan munisi tanpa kelongsong (Caseless Cartridge)
2) Munisi Kaliber Besar (MKB). Diarahkan pada peningkatan kemampuan munisi penghancur Ranpur lapis baja dengan :
a) Proyektil jenis HESH (High Explosive Squash Head) yang bekerja dengan prinsip meledakkan bagian luar lapis baja dengan tujuan merontokkan bagian dalam sebagai dampak gelombang rambat.
b) Proyektil Kinetic Energy (KE). Pemanfaatan energi kinetik pada isian munisi menyebabkan gerak munisi berkecepatan sangat tinggi sehingga dapat menembus baja. Munisi jenis ini terbuat dari bahan yang sangat keras, seperti : APDS (Armour Piercing Discarting Sabot) dan APDSFS (Armour Piercing Discarting Sabot Fin Stabilized)
c) Proyektil HEAT (High Explosive Anti Tank) peluru senjata anti tank berdaya ledak tinggi.
Perkembangan Ranpur TNI AD.
a. Jenis Ranpur. Berdasarkan jenis rodanya, kendaraan tempur (Ranpur) dibedakan atas Tank (Ranpur r.oda rantai) dan Panser (Ranpur roda ban). Sesuai dengan fungsinya Ranpur terdiri dari ;
1) APC (pengangkut personal).
2) Kanon (Ranpur tempur kavaleri, penarik kanon/meriam lintas datar).
3) Komando (Ranpur sebagai ruang komando).
4) Ambulance/Ranpur yang dilengkapi sarana dan fasilitas ambulance untuk menolong korban di daerah pertempuran.
5) Logistik (Ranpur sebagai pengangkut alat pendukung dan perbekalan pertempuran).
6) Recovery (Ranpur yang dilengkapi dengan sarana pemulihan daerah pertempuran)
7) Mortir (Ranpur penarik senjata lintas lengkung/mortir untuk satuan artileri)
8) Jembatan (Ranpur yang berfungsi sebagai jembatan darurat di daerah pertempuran)
9) Meriam GS (Ranpur penarik meriam Armed yang bergerak sendiri/GS).
b. Upaya Mempertahankan Asset Ranpur Lama. Ranpur TNI yang ada sebagian besar merupakan aset lama yang sudah tua. Secara alamiah Ranpur tua ini telah mengalami penurunan kondisi. Untuk mempertahankan dan memelihara kekuatan dan kemampuan Satpur Artileri dan Kavaleri secara minimal (minimal essential force), maka ditempuh upaya sebagai berikut ;
1) Overhaul; upaya perbaikan Ranpur secara menyeluruh dengan tetap menggunakan komponen aslinya sehingga memiliki kemampuan kembali seperti baru.
Keuntungan : dapat meningkatkan kemampuan Ranpur seperti aslinya sehingga memperpanjang usia pakai.
Kerugian : Karena tetap menggunakan teknologi lama sesuai aslinya sehingga tidak dapat memenuhi tuntutan peningkatan kemampuan sesuai kebutuhan. Tidak dapat menjawab tantangan kemajuan teknologi Alutsista/ pertahanan.
2) Repowering : Upaya perbaikan secara parsial, dalam hal ini perbaikan atau pergantian hanya pada power unit atau mesin Ranpur.
Keuntungan : Daya gerak dan atau mobilitas meningkat. Komponen lama yang tidak/jarang mengalami kerusakan masih dapat digunakan.
Kerugian : Komponen gerak lainnya tetap (tidak diganti) sehingga tidak mendukung peningkatan daya gerak.
3) Retrofitting ; upaya peningkatan kemampuan Ranpur melalui cara penggantian komponen yang menggunakan teknologi mutakhir.
Keuntungan : Dapat menghifangkan kelemahan teknologi lama dengan penggunaan teknologi baru.
Dengan mengganti mesin berdaya lebih besar dan penggunaan transmisi otomatis, kemampuan Ranpur meningkat. Dengan penggunaan/ penggantian komponen lama dengan komponen baru, usia pakai meningkat. Komponen lama yang sulit didapat suku cadang (sucad)nya diganti dengan komponen yang sucadnya relatif mudah didapat.
Kerugian : Proses pengerjaannya lebih rumit. Membutuhkan biaya relatif lebih besar.
PERMASALAHAN MODERNISASI TEKNOLOGI DAN INDUSTRI ALUTSISTA/ SARANA PERTAHANAN
Sarana pertahanan/ Alutsista sebagai produk industri
dapat dibedakan dengan alat/ komoditas umum (komersial) dari aspek
teknologinya, dimana Ranahan/Alutsista memiliki muatan teknologi yang
lebih unggul, berbiaya tinggi, sehingga harga satuannya lebih mahal.
Misalnya pesawat terbang CN-235 MPA (militer) lebih canggih daripada
CN-235 (komersial). Tetapi dari segi pemasaran, produk Alutsista/
Ranahan sangat terbatas segmen pasarnya yaitu satuan TNI. Perbedaan yang
bertolak belakang itu menyebabkan inovasi teknologi di bidang
Alutsista/Ranahan tidak berjalan secara alamiah, melainkan, bergantung
kepada keputusan politik pemerintah3 Khusus untuk Indonesia
yang menganut Doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata)
dengan TNI sebagai komponen utamanya (hanya disiapkan sebagai "prajurit
pertahanan") yang harus berhadapan dengan musuh yang menyerang dari luar
negeri (defensif aktif). Doktrin Hankamrata dengan prajurit TNI yang
disiapkan sebagai "prajurit pertahanan", punya pengaruh yang kurang
kondusif terhadap inovasi dan pengembangan teknologi dan industri
pertahanan.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh negatif
(menghambat) terhadap inovasi dan pegembangan teknologi dan industri
pertahanan adalah :
1. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung inovasi dan pengembangan teknologi/ industri pertahanan
2. Ketersediaan dana yang dapat dimanfaatkan untuk bidang inovasi teknologi dan industri pertahanan yang sangat terbatas.
3. Ketersediaan SDM di bidang teknologi dan industri Alutsista/Ranahan modern juga
langka.
4. Teknologi "out of data"(usang). Alutsista yang
kita beli dari luar negeri seperti: kapal dan pesawat tempur bukan
teknologi mutakhir melainkan Alut produk teknologi yang sudah usang (out
of date) bagi negara penjualnya. Keterbatasan dana dan faktor politik
tidak memungkinkan kita dapat membeli Alut yang paling canggih.
5. Kesulitan lepas dari ketergantungan. Kesenjangan
kemampuan teknologi Alutsista kita dengan negara maju yang semakin
melebar dan kebijakan politik negara pemilik/pembuat Alutsista yang
tidak mau menstransfer teknologi Alutsista buatannya secara penuh,
menyebabkan kita sulit melepaskan diri dari ketergantungan (sulit untuk
mandiri).
6. Masalah standarisasi. Alutsista yang kita miliki
bersumber dari beberapa produsen/negara yang berbeda, hal tersebut
menyulitkan dalam proses standarisasi, pembinaan materiil dan
pendidikan/pelatihan.
Solusi/Pemecahan Masalah.
Sebagai upaya terobosan atau jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, maka ditempuh upaya sebagai berikut :
1. Pengadaan Sista berteknologi canggih sebagai inti
pengembangan dalam rangka alih teknologi melalui kerjasama tripartit :
Industri pertahanan, Litbanghan/perguruan tinggi dan Dephan/TNl untuk
menghasilkan teknologi sista yang dibutuhkan.
2. Pengembangan produk Alut militer dari produk
industri komersial dengan menerapkan persyaratan tertentu sesuai
kebutuhan operasi militer (contoh : pesawat terbang patroli maritim
CN-235 MPA dikembangkan dari pesawat CN-235 (komersial).
3. Lisensi dan Reverse Engineering. Pemberian lisensi
dari pemilik teknologi Alutsista dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin
untuk menguasai teknologi Alut tersebut dengan cara reverse engineering
(membedah setiap komponen Alut untuk menguasai teknologinya).
4. Integrasi teknologi dan standarisasi.
Pengintegrasian teknologi baru pada teknologi yang sudah ada pada Alut
yang dimiliki untuk menghasilkan Alut rancangan baru dan produk baru
yang standar guna efisiensi pemeliharaan dan memudahkan Binmat serta
Diklat.
5. Pengembangan teknologi baru. Menciptakan produk
Alutsista yang sama sekali baru dengan teknologi mutakhir yang sudah
dikuasai atau melalui kerjasama dengan pihak luar negeri.
6. Pengembangan penelitian dasar. Salah satu
kelemahan Indonesia di bidang teknologi Alutsista karena kita kurang
peduli terhadap pengembangan penelitian dasar dan industri hulu yang
menghasilkan produk bahan baku industri militer/ Ranahan, akibatnya
industri pertahanan kita masih bergantung pada bahan baku impor, padahal
bahan mentahnya banyak tersedia di dalam negeri.
STRATEGI INOVASI DALAM PENGEMBANGAN IPTEK DAN INDUSTRI SARANA PERTAHANAN / ALUTSISTA.
Alutsista sebagai sarana pertahanan keamanan sarat
dengan muatan komponen-komponen berteknologi tinggi. Disisi lain, secara
faktual di Indonesia belum ada suatu industri pertahanan mandiri yang
secara khusus hanya memproduksi Ranahan/ Alutsista. Oleh karena itu
inovasi dalam pengembangan Iptekhan ini harus dilaksanakan dengan suatu
strategi yang tepat. Untuk menentukan strategi ini, perlu didahului
dengan suatu kajian (penilaian, pencermatan dan pendalaman) atas :
Potensi Sumberdaya Nasional (SDN) yang dimiliki.
Kondisi faktual kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang ada.
Kondisi keamanan dan ancaman kini dan yang akan datang (5-10 tahun dan 10-15 tahun yang akan datang).
Rencana strategi (Renstra) dan rencana kebutuhan kekuatan (Renbutkuat) yang akan datang.
Industri nasional yang memiliki kemampuan
menghasilkan komponen/suku cadang Ranahan dan bahan baku seperti
industri baja, metalurgi ekstraktif, kimia dasar, semi konduktor dan
serat optik.
1. Potensi SDN yang tersedia merupakan modal dasar
dalam pembangunan industri Alutsista. Kondisi SDN yang dimaksudkan dalam
hal ini meliputi :
a. Sumberdaya manusia (SDM)
b. Industri Nasional/lndustri Pertahanan
c. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertahanan (Iptekhan)
d. Sumber dana untuk pembiayaan operasional.
e. Sumberdaya alam (SDA) dalam hal ini khususnya mineral logam yang dapat dikembangkan menjadi bahan
baku industri pertahanan.
2. Kondisi faktual kekuatan dan kemampuan pertahanan
kita dart ketiga angkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas
dihadapkan dengan luasnya wilayah dan konfigurasi wilayah perpaduan
maritim dan daratan serta dengan kemungkinan ancaman dari luar
kondisinya sangat lemah.
3. Kondisi keamanan dan ancaman sekarang dan
kecenderungan ke depan (5-15 tahun) relatif stabil. Ancaman yang terjadi
lebih banyak diwarnai oleh peristiwa kriminal biasa seperti perampokan
dan pencurian. Namun secara tak diduga muncul sesekali peristiwa
terorisme dan yang sering terjadi adalah penyalahgunaan/ perdagangan
gelap Narkoba. Tertangkapnya kelompok teroris di Palembang membuktikan
bahwa terorisme merupakan bahaya laten yang setiap saat harus selalu
diwaspadai. Ancaman laten terorisme ini dapat mengundang link up nya
gerakan terorisme Internasional dengan anasir terorisme di dalam negeri.
Kemungkinan tersebut dapat mengundang campur tangan asing (USA dan
negara-negara sekutunya) di dalam negeri. Hal ini tidak kita kehendaki,
karena masuknya kekuatan asing akan membawa implikasi negatif terhadap
kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Sebagai negara yang menganut
politik luar negeri "bebas aktif, Indonesia punya komitmen untuk
menyelesaikan/mengatasi ancaman dalam negeri dengan kekuatan sendiri,
tidak mau bergantung pada bantuan kekuatan asing
4. Renstra dan Renbutkuat. Renstra dan Renbutkuat
jangka sedang (5-10 tahun) diarahkan pada pemenuhan kebutuhan pokok
minimal (minimal esential force) sesuai skala prioritas dari setiap
Angkatan. Untuk jangka panjang, secara bertahap diarahkan pada
penguasaan Iptek pertahanan guna merealisasikan kemandirian (pemenuhan
kebutuhan) sarana pertahanan/Alutsista.
5. Sumberdaya alam (SDA)/mineral seperti bijih/pasir
besi, mangan, nikel, timah dan lain-lain yang tersebar di seluruh
wilayah tanah air, diolah menjadi bahan baku industri
pertahanan/senjata. Selama ini SDA tersebut hanya sedikit sekali yang
diolah menjadi bahan baku industri pertahanan (Indhan), sehingga Indhan
kita masih bergantung pada bahan baku import.
Strategi Pemberdayaan SDM Pertahanan.
SDM Pertahanan terdiri dari tiga kelompok/ komponen, yaitu :
a. Komponen utama adalah prajurit TNI.
b. Komponen cadangan, adalah warga masyarakat sipil
yang sudah diseleksi, dididik/dilatih dan disiapkan dimobilisasi untuk
membantu TNI dimana diperlukan.
c. Komponen pendukung, adalah seluruh warga masyarakat sipil yang memenuhi syarat diluar dua komponen tersebut diatas.
Pemberdayaan SDM Pertahanan untuk kepentingan inovasi
Iptekhan dan Indhan dari ketiga komponen tersebut adalah pemberdayaan
atas mereka yang memiliki potensi, pengetahuan dasar atau yang bekerja
di lembaga/institusi Iptek atau industri yang terkait dengan bidang
pertahanan. Dalam hal ini adalah mereka yang bekerja pada
lembaga/institusi pemerintah, litbang, lembaga pendidikan, perusahaan
industri, para pakar dan peminat/inovator Alutsista. Termasuk juga para
prajurit di satuan-satuan Badan Prasarana (Bapras) seperti
Ditpal/Ditmat, Dithub, Ditzi dan lain-lain. Para inovator/ nventor,
pakar dan para peminat bidang Iptekhan tertentu diikat atau bergabung
dalam suatu wadah atau organisasi kepakaran dimana mereka dapat sharing
gagasan, pendapat dan kemampuan rancang bangun dalam rangka mewujudkan
suatu Alutsista ancangan baru atau modifikasi sesuai kebutuhan TNI.
Strategi Pemberdayaan Industri Pertahanan.
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki Indhan yang
mandiri, yang ada adalah industri penghasil produk komersial plus produk
Indhan. Contohnya : PT. Pindad (senjata & Ranpur), PT. PAL (kapal),
PT. LEN Industries (Alkom & elektronik), PT. DI (pesawat terbang),
PT. KS (bahan baku baja) dan lain-lain. Presentase produk
Alutsista/Ranahan dari setiap Badan Usaha Milik Negara Industri
Strategis (BUMNIS) tersebut diatas angkanya berbeda-beda, tetapi pada
umumnya produk Alutsista/Ranahan masih dibawah 30% (kecuali PT. Pindad).
Bagaimana ke depan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk BUMNIS
tersebut? Upaya/hal-hal diharapkan adalah :
a. Ada komitmen dan dukungan yang kuat dari
pemerintah, berupa pembinaan dan dukungan dana yang semakin besar yang
diberikan secara konsisten serta mewajibkan kepada pengguna/TNl untuk
menggunakan produk Ranahan dalam negeri yang kualitasnya setara produk
asing.
b. TNl sebagai pengguna tidak lagi menggantungkan
kebutuhan Alut/Ranahan pada produk asing bilamana di dalam negeri
Alut/Ranahan tersebut sudah dapat diproduksi. Impor hanya dapat
diijinkan untuk pemenuhan kebutuhan mendesak dan atau darurat yang tidak
dapat dipenuhi oleh Indhan dalam negeri4.
c. Pendanaan, diusahakan pendanaan Indhan sedapat
mungkin menggunakan dana dalam negeri termasuk pemanfaatan dana
masyarakat yang terhimpun dalam SBI/SUN dengan ketentuan regulasi yang
jelas dan menguntungkan semua pihak atas jaminan pemerintah. Penggunaan
kredit ekspor (KE) semakin dibatasi sampai pada akhirnya tidak ada lagi
ketergantungan pada KE5.
d. Pelibatan industri swasta yang memiliki kemampuan
memproduksi komponen/suku cadang Alut (out sourcing), guna mempercepat
produksi Alutsista dan disisi lain membuka/ memperluas kesempatan kerja
sekaligus mengurangi pengangguran.
e. Adanya sinergi dari semua BUMNIS dalam memproduksi
suatu Alutsista sesuai dengan bidang kemampuan masing-masing dengan
spesifikasi teknik (Spektek) yang sudah ditentukan6.
Pentahapan Pengembangan Industri Pertahanan.
Didasarkan pada keterbatasan dukungan kemampuan dan
proyeksi tingkat kemampuan ancaman, Departemen Pertahanan telah menyusun
konsep Rencana Pembangunan Industri Pertahanan secara bertahap yang
diklasifikasi atas empat kelompok dalam empat tahapan, yaitu sebagai
berikut 7:
a. Tahap I
1) Industri Pendukung Daya Gerak. Terdukungnya alat
angkut ringan, baik darat, laut maupun udara serta terpenuhinya dukungan
suku cadang dan pemeliharaan secara mandiri.
2) Industri Pendukung Daya Tempur. Terdukungnya
sistem persenjataan standar bertempur infanteri meliputi senjata, munisi
dan alat bidik (Pistol, Senapan, Senapan Mesin, Mortir, Senjata Lawan
Tank, dsb), termasuk pemeliharaannya. Terpenuhinya secara mandiri
kebutuhan bahan baku bahan peledak, contoh : Propelan.
3) Industri Pendukung K4I (Komando, Kendali,
Komunikasi, Komputer dan Informasi). Terwujudnya kemandirian perangkat
K4I termasuk perangkat surveillance untuk mendukung operasi taktis.
4) Industri Bekal. Terwujudnya kemandirian perbekalan
TNI (makanan dan Kaporlap) secara penuh sebagai dukungan produk
industri daiam negeri.
5) Alih Teknologi. Pada tahap ini diupayakan pula
alih teknologi dari produk-produk luar negeri yang telah ada namun belum
mampu diproduksi sendiri. Sejalan dengan itu ditingkatkan kemampuan
teknologi substitusi untuk memproduksi suku cadang Alutsista.
b. Tahap II
1) Industri Pendukung Daya Gerak. Terdukungnya alat angkut sedang yang telah dilengkapi dengan sistem senjata ringan.
2) Industri Pendukung Daya Tempur. Terdukungnya
sistem persenjataan tingkat sedang (baik senjata maupun munisi, misalnya
Senjata Artileri Kaliber 20 mm) dan Peluru Kendali (Rudal) Jarak Dekat
untuk mendukung operasi taktis. Persenjataan tersebut dapat dipasang
pada sarana angkut ringan baik pada alat peralatan matra darat, laut
maupun udara.
3) Industri Pendukung K4I. Terdukungnya kemandirian
perangkat K4I termasuk perangkat surveillance untuk mendukung operasi
strategis secara terbatas.
4) Alih Teknologi. Pada tahap ini sudah mempunyai
kemandirian terhadap suku cadang alat utama teknologi canggih secara
terbatas sebagai hasil alih teknologi, disamping itu sudah dihasilkan
prototipe, rancang bangun dan perekayasaan produk teknologi canggih
tingkat sedang.
c. Tahap III
1) Industri Pendukung Daya Gerak. Terwujudnya
kemandirian produk alat angkut berat dan bernilai strategis secara
terbatas guna mewujudkan tercapainya daya tempur baik matra darat, laut
maupun udara (antara lain Tank, Kapal Kombatan dan Pesawat Tempur)
sebagai suatu sistem.
2) Industri Pendukung Daya Tempur. Terdukungnya
sistem persenjataan berat secara terbatas (antara lain Senjata Artileri
baik untuk satuan Artileri, Kanon Tank dan Rudal Jarak Sedang), yang
meliputi senjata, munisi dan sistem kendali.
3) Industri Pendukung K4I. Terdukungnya kemandirian
perangkat K4I termasuk perangkat surveillance untuk mendukung operas!
strategis secara penuh.
4) Alih Teknologi. Pada tahap ini sudah mempunyai
kemandirian produk suku cadang alat utama teknologi canggih secara penuh
sebagai hasil alih teknologi, disamping itu sudah dicapainya produk
rancangbangun dan perekayasaan secara mandiri siap untuk diproduksi
secara massal.
d. Tahap IV.
Terwujudnya tingkat kemandirian secara penuh baik pada industri pendukung daya gerak, daya tempur dan kodal.
Catatan : Untuk industri bekal, sejak tahap II sudah tidak direncanakan lagi karena dianggap sudah mandiri.
Strategi Pengembangan Iptekhan.
Penelitian, pengkajian dan pengembangan Iptekhan
secara formal dilaksanakan oleh institusi Litbang Depnan, TNI/Angkatan
dan perguruan tinggi di lingkungan Dephan/TNl serta perguruan tinggi
umum/teknik tertentu seperti ITB, Ul, dan UNBRA. Instansi pemerintah :
BPPT/KRT, LIPI dan LAPAN secara terbatas juga melakukan Litjianbang
Iptekhan. Sasaran dari cara/metoda dan produk prototipe Alut baru atau
modifikasi yang memiliki keunggulan daripada produk yang sudah ada
sesuai tuntutan kebutuhan TNI. Strategi inovasi dan pengembangan
Iptekhan harus dibangun diatas kebutuhan pengguna/TNl yang berorientasi
pada kemungkinan ancaman, dari dalam dan luar negeri.
a. Untuk ancaman dari luar, pengembangan bagaimana
menetralisir atau menangkis penggunaan senjata canggih seperti Rudal
pintar (Smart gun) yang memiliki akurasi tinggi dan mematikan.
Sarana/alat perlindungan seperti apa yang harus kita buat untuk mencegah
dan mengatasi serangan Rudal/Smartgun seperti itu. Dalam hal ini
inovasi dan pengembangpaduan Iptek elektronika dan komputer sangat
penting untuk diintensifkan. Untuk Alutsista laut (kapal) dan udara
(pesawat tempur) pengembangan diarahkan pada peningkatan kemampuan
jelajah, manover dan kecepatan serta kemampuan senjata yang melekat
(mounted) pada kapal dan pesawat tempur tersebut.
b. Untuk menghadapi ancaman dalam negeri. Ancaman
dalam negeri lebih banyak berupa ancaman non militer seperti sabotase,
spionase, sparatisme, radikalisme, illegal logging dan terorisme. Khusus
untuk diperairan/laut: perompakan/ pembajakan, illegal fishing, illegal
crossing/migrant, penyelundupan dan terorisme maritim. Inovasi dan
pengembangan Iptek untuk pertahanan terhadap ancaman dalam negeri ini
prioritas diarahkan pada terorisme, illegal fishing, illegal logging dan
perompakan, karena empat ancaman tersebut benar-benar aktual dan sangat
merugikan. Inovasi pengembangan Iptek paling ampuh untuk mengatasi
ancaman tersebut adalah pengembangan alat/sarana deteksi dan
identifikasi fenomena dari jarak jauh (remote sensing) melalui pesawat
terbang tanpa awak (PTTA) dan satelit.
Sumber : http://balitbang.kemhan.go.id/?q=content/strategi-inovasi-dan-pengembangan-di-bidang-iptek-dan-industri-pertahanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar